Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan, hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam
proses penyidikan Terhadap Cybercrime antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Perangkat hukum yang belum memadai
Penulis telah menyebarkan tiga puluh angket kepada 30 orang responden yang
bertugas sebagai penyidik di lingkungan unit tugas Serse POLDA Sumatera Utara.
Seluruh responden mengaku telah mengetahui tentang cybercrime dan yakin bahwa
cybercrime telah terjadi di Sumatera Utara, namun para responden masih
menganggap lemahnya peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap
pelaku cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP
seringkali masih cukup meragukan bagi penyidik. 2 orang responden yang
menganggap telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang cybercrime merujuk
kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi. Seluruh responden sependapat bahwa perlu dibuat undang-undang
yang khusus mengatur cybercrime.
2. Kemampuan
penyidik
Secara umum
penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan
pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan
terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan)
adalah:
·
Kurangnya
pengetahuan tentang komputer.
·
Pengetahuan
teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime
masih terbatas.
·
Faktor
sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik.
Dari
penelitian dilakukan, ternyata masih sangat kurang jumlah penyidik yang pernah
terlibat dalam penanganan kasus cybercrime (10%), bahkan dari 30 orang
responden yang ada, tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat pendidikan
khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime.
Dalam hal
menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan
penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan
menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang
komputer dan profil hacker.
c. Alat Bukti
Persoalan
alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain
berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:
- Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau system internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
- Kedudukan saksi korban dalam cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas.
Mengingat
karakteristik cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan
hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh
Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa
alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem
program yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.
d. Fasilitas komputer forensic
Untuk
membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan
aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data
komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik.
Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan
menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini
Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai.
Fasilitas
forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani
tiga hal penting yaitu evidence collection, forensic analysis, expert witness.
0 komentar:
Posting Komentar